DPRD Surabaya, Bhirawa
Seiring menggeliatnya kegiatan usaha di Kota Surabaya, Pemkot Surabaya mengimbanginya dengan mengevaluasi regulasi terkait perizinan kegiatan usaha itu yakni izin gangguan. Saat ini, Pemkot Surabaya sudah mengajukan dua Raperda ke DPRD Surabaya. Masing-masing Raperda Izin Gangguan dan Raperda Retribusi Izin Gangguan.

Untuk Raperda Retribusi Izin Gangguan, DPRD Surabaya sudah membentuk Pansus. Dan Pansus sendiri bertekad agar Perda yang mereka bahas saat ini nantinya tidak akan memberatkan iklim usaha di Surabaya. ”Semangatnya pembuatan Perda baru ini jangan sampai hanya berorientasi pada bagaimana memenuhi target PAD Pemkot saja. Tapi kepentingan para pengusaha juga harus menjadi pertimbangan,” ujar Ketua Pansus Reni Astuti kemarin.

Pansus sendiri kemarin memang menggelar hearing. Berlangsung di ruang Komisi C DPRD Surabaya, hearing kemarin menghadirkan Dinas Lingkungan Hidup Surabaya serta Kadin dan Apindo. ”Kami mengharapkan masukan dari  para stake holder agar materi Perda yang kita setujui ke depan  benar-benar bermanfaat bagi pelaku usaha,” kata dia.

Dalam hearing, Kadin Surabaya yang diwakili Unggul Roseno menyatakan hendaknya dalam Perda disebutkan secara tegas bentuk-bentuk gangguan yang dimaksud. ”’Kalau tidak disebutkan secara rinci bentuk-bentuk gangguan, maka kami-kami ini yang akan menerima akibatnya di lapangan,” kata Unggul.

Selain itu, Unggul juga mempertanyakan masa peralihan izin gangguan. ”Aturannya bagaimana kalau sekarang saya sudah memegang izin gangguan yang lama bila nanti sudah diterapkan izin yang baru. Sebab izin gangguan masa berlakunya kan tiga tahun. Di draft Raperda sekarang ini belum tercantum,” ujar dia.

Unggul juga mempertanyakan masalah luasan tempat usaha yang menjadi perhitungan retribusi izin gangguan. Yang tercantum dalam Raperda, luasan itu mulai dari 0-100 meter persegi, 100-500 meter persegi, 500-1.000 meter persegi dan 1.000 meter persegi ke aatas.

”Padahal untuk usaha-usaha kecil, ada yang hanya membutuhkan luasan tidak sampai 100 meter persegi. Kalau ini diterapkan, yang luasnya 20 meter persegi harus membayar sama besarnya dengan yang luas usahanya 100 meter persegi. Ini saya kira kurang tepat,” katanya.

Sementara itu, anggota Pansus Sachiroel Alim berpendapat  memang masih cukup banyak item-item dalam draft Raperda yang perlu dilakukan revisi. Sebab, bila Perda ini mampu menekan biaya yang harus dikeluarkan  pengusaha, secara otomatis akan merangsang pengusaha luar Surabaya untuk bermain di Kota ini.

Sachiroel yang juga Ketua Komisi C DPRD Surabaya ini sangat setuju dengan revisi luasan yang diusulkan Kadin Surabaya. ”Kami minta Pemkot lebih rinci terkait luasan perhitungan luasan itu,” katanya.

Setidaknya, tambah Reni Astuti, Pemkot menyerahkan dua alternatif skema luasan perhitungan tarif itu. Pertama mulai adalah 0-50, 50-100,100-200 dan seterusnya. ”’Dengan skema ini, berarti yang luasanya 20 misalnya tidak harus membayar sampai yang luasnya 100,”  kata dia.

Alternatif kedua dengan perhitungan luasan per meter persegi.  Artinya, pengusaha harus membayar tarif retribusi sesuai dengan luas sebenarnya tempat usahanya. ”Jadi tidak ada batasan 0 sampai 50 dan sebagainya lagi,” katanya.

Yang jelas, perubahan-perubahan luasan itu, menurut Reni Astutri, jangan sampai mempengaruhi besaran retribusi yang harus dibayar pengusaha. Dalam draft Raperda, untuk luas 0-100 dikenakan biaya Rp125.000, luas 100-500 dikenakan Rp250.000, luas 500-1000 dikenakan Rp500.000 dan luas diatas 1.000 dikenakan Rp500 per m2. [cty.adv]

HarianBhirawa.co.id, 20 September 2011
www.harianbhirawa.co.id/eksekutif/16504–perda-retribusi-izin-gangguan-jangan-beratkan-pengusaha