Oleh Reni Astuti

Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya

Surabaya, Indonesia dan seluruh dunia tengah berhadapan dengan krisis. Pandemi covid-19 mengubah banyak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Maka pilihan satu-satunya bagi sebuah negara dan kota adalah beradaptasi dan berdampingan dengan pandemi. Maka, ketika berbicara perhelatan pilkada serentak yang digelar 9 Desember 2020 nanti, tentu tidak bisa dilepaskan dari pandemi. Surabaya juga ikut serta meramaikan pesta demokrasi tersebut. Bicara tentang pilwali seringkali dikaitkan dengan calon walikota yang cocok menggantikan Risma. Diskursus publik tersebut tidak dapat dipungkiri, mengingat Tri Rismaharini atau yang biasa kita sapa Bu Risma telah menahkodai Surabaya dalam dua periode. Kepemimpinan beliau begitu membekas di benak warga Surabaya. Rasanya sulit untuk tidak membawa-bawa Bu Risma dalam diskursus mengenai Pilwali.

Namun, bicara kepemimpinan di Surabaya seharusnya tidak hanya bicara pasca Risma. Tetapi walikota era pandemi dan pasca pandemi. Di tengah kondisi yang tak menentu, yang oleh para ahli disebut era ketidakpastian (uncertainty). Kita tak tahu pasti sampai kapan pandemi ini berakhir dan kapan vaksin bisa ditemukan. Tantangan bagi era kepemimpinan selanjutnya di Surabaya adalah era pandemi dan pasca pandemi. Setidaknya ada dua hal yang akan menjadi tantangan, penanganan covid pada bidang kesehatan dan mengatasi dampak ekonomi di masa pandemi dan pasca pandemi.

Permasalah tersebut telah ditangkap oleh Pemerintah Pusat dengan membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020. Penanganan kesehatan dan ekonomi di masa pandemi yang sebelumnya terpisah dalam Gugus Tugas Penanganan Covid-19 dan Kemenkoan Perekonomian akan disatukan dalam satu lembaga. Pemerintah menyadari bahwa penanganan covid tidak dapat dilepaskan dari upaya pemulihan perekonomian nasional sehingga harus terdapat satu kesatuan kebijakan strategis, yang terintegrasi dan tidak dapat terpisah.

Pembentukan komite penanganan covid dan pemulihan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari ancaman resesi yang dihadapi oleh Indonesia. Faisal Basri, ekonom senior Universitas Indonesia mendefinisikan Resesi Ekonomi sebagai penurunan signifikan aktivitas ekonomi secara meluas yang terjadi dalam beberapa bulan atau beberapa triwulan atau bahkan beberapa tahun yang ditunjukkan oleh kemerosotan produk domestik bruto (PDB) riil.[1] Sejak awal tahun, ekonomi Indonesia sudah menunjukkan pelemahan dan hanya tumbuh 2,97 persen year-on-year (yoy). Kuartal 2, pemerintah memprediksi ekonomi akan minus 4,3 persen.[2] Sinyal resesi mulai diwaspadai setelah sebelumnya Singapura dan Korea Selatan mengumumkan negara mereka dalam kondisi resesi.

Apa yang terjadi di tataran nasional dan negara tetangga mengindikasikan Surabaya harus bersiap. Oleh karena itu, penting agar APBD efektif, efisien dan produktif. Efektif berarti sesuai target, efisien berarti hemat dan produktif berarti punya dampak atau efek berlipat. Bukan sekedar melakukan penghematan melainkan anggaran harus digunakan tepat sasaran. Program yang penting dalam penanganan covid harus dianggarkan. Pendapatan dipertahankan secara riil. Belanja difokuskan pada penanganan pandemi dan pemulihan dampak ekonomi. Pengendalian pandemi dan penurunan kurva akan berdampak positif pada perekonomian kota.

Sekali lagi, diskursus calon walikota produk pilwali 2020 tidak hanya berbicara satu era kepemimpinan. Sebab pembangunan Surabaya adalah sebuah kontinuitas. Keberlanjutan kepemimpinan. Walikota yang saat ini akan melengkapi yang sebelumnya. Walikota yang lalu akan memberikan pondasi bagi walikota selanjutnya. Mulai dari era walikota pertama Pak Radjamin Nasution, sampai era Pak Purnomo Kasidi, Pak Soenarto Soemoprawiro, Pak Bambang DH hingga Bu Risma. Semuanya meletakkan batu bata dalam pembangunan dan perkembangan Surabaya, maka kedepan tugas walikota selanjutnya adalah melanjutkan batu bata pembangunan yang belum selesai.

Setidaknya ada tiga hal penting yang harus dijamin pemimpin Surabaya pada warganya. Pertama, tidak boleh ada anak Surabaya yang putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan pendidikan. Dari SD ke SMP. Dari SMP ke SMA/SMK. Penduduk usia sekolah menempati jumlah yang terbanyak setelah penduduk usia 35-39. Usia sekolah yaitu pada rentang 5-9 tahun; 10-14 tahun dan 15-19 tahun dengan total sebesar 748.145. Pada era bonus demografi nanti penduduk dengan rentang 5-19 akan menjadi penduduk produktif yang akan menjalankan pembangunan di Surabaya.

Penting kemudian untuk mempersiapan masa depan Surabaya dengan menyiapkan pendidikan yang berkualitas bagi generasi selanjutnya. Pendidikan ini dasar. Basis bagi pembangunan sumber daya manusia. Bonus demografi akan gagal jika pendidikan tidak diperhatikan. Pendidikan adalah hak anak Surabaya dan menjadi kewajiban pemerintah kota, termasuk biaya dan kualitas. Pemerintah kota tidak hanya berkewajiban menyelenggarakan urusan pendidikan, tetapi juga harus memastikan bahwa kondisi kesehatan, jenis kelamin, suku, ras, agama dan kondisi ekonomi maupun sosial tidak boleh menjadi penghalang untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Ini yang saya sebut sebut sebagai program Jaminan Sekolah.

Hampir setiap hari pengaduan yang masuk tentang keberatan orang tua untuk membayar biaya sekolah bagi anaknya. Pada momen hari anak 23 Juli kemarin, saya mendatangi tiga keluarga di Dukuh Pakis dengan kondisi anak yang kesulitan mengakses layanan pendidikan daring. Adalah Atlas adalah penyandang inklusi yang butuh perlakuan khusus termasuk dalam menerima pendidikan. Namun, di era pandemi, akses untuk menerima pendidikan semua berpindah di jagat maya. Kemudian, Resa siswa SMP yang kesulitan belajar daring karena terbentur faktor ekonomi. Ia adalah anak yatim. Sehari-hari, ibunya menjadi asisten rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sarah, sang kakak yang masih duduk di bangku SMK juga turut membantu berjualan di warung depan rumah untuk membantu kehidupan keluarga. Sedangkan, Putri dan adiknya Seren yang masih duduk dibangku SD harus tinggal dengan neneknya yang kesulitan mendampingi pembelajaran daring.

Kedua, tidak boleh ada warga yang menganggur. Data BPS Kota Surabaya menunjukkan angka pengangguran terbuka pada tahun 2019 masih mencapai 5,8% tentunya jumlah ini akan lebih tinggi apabila dihitung pada awal 2020 hingga kini. Pandemi berdampak besar bagi perekonomian masyarakat. Banyak sektor pekerja yang terdampak dan dirumahkan. Data warga terdampak covid diantaranya adalah pekerja harian yang terdampak dan pekerja yang dirumahkan sebanyak 61.699 orang. Perlu diingat bahwa komposisi penduduk Surabaya didominasi oleh kelompok usia produktif yaitu usia 15 sampai dengan 64 tahun yaitu sebesar 2.229.164 jiwa atau 70,55%[3]. Usia produktif yang tidak bekerja berdampak pada tingginya angka pengangguran.

Pilihannya dua, membuka usaha atau menjadi karyawan. Yang usaha harus mendapatkan stimulus modal, pembinaan dan penyediaan pasar. Terutama pemberdayaan UMKM. Rumah kreatif yang telah dibuat Pemkot harus dioptimalisasikan dan disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Kemudian kemudahan untuk berusaha harus terus dibangun, kepastian dan kemudahan perizinan berusaha harus terus didorong. Yang karyawan dibekali pelatihan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan penyediaan lapangan kerja. Link and match antara dunia pendidikan dan usaha diperlukan dengan cara mengoptimalisasikan Bimbingan Konserling di sekolah untuk talent mapping dan job roadmap. Tumbuhkan kembali industri dan jasa padat karya untuk menyerap tenaga kerja, termasuk industri pertanian modern. Proteksi pekerja Surabaya dari tenaga kerja asing juga perlu diupayakan. Ini yang selanjutnya kami sebut sebagai program Jaminan Kerja.

Ketiga, tidak boleh ada warga yang tidak makan. Yang tidak mampu (lansia, anak terlantar, orang terlantar, disabilitas dan warga yang tidak mampu menafkahi dirinya sendiri) harus dipelihara oleh negara cq. Kota Surabaya. Warga yang mampu untuk membeli harus dijamin agar harga sembako atau bahan pokok penting terjangkau. Stok juga harus terjamin. Seluruh pasar berada di bawah kendali Pemkot termasuk 67 pasar tradisional yang telah dikelola PD Pasar dan kurang lebih 100 pasar yang dikelola oleh masyarakat. Berantas mafia sembako. Intervensi harga bahan pangan. Ini yang saya sebut sebagai program Jaminan Pangan.

Tiga program jaminan ini menjadi prioritas di era pandemi. Mengiringi prioritas utama, yakni penanganan covid-19. Tentu dalam penanganan covid, jaminan kesehatan menjadi prioritas utama. Maka. Tidak boleh ada warga yang sakit yang tidak bisa berobat. Layanan kesehatan harus dapat diakses semua warga, termasuk yang terhalang secara ekonomi maupun secara tempat tinggal jauh dari akses kesehatan. Di masa pandemi, jangkauan layanan kesehatan yang baik menjadi berkurang. Warga takut ke puskesmas dan rumah sakit karena takut terpapar covid.

Jaminan kesehatan dapat dibagi menjadi dua, yaitu jaminan kesehatan pandemi berupa layanan darurat covid-19 yakni swab gratis, rawat khusus pasien covid-19, kemudahan akses ambulan dan layanan kegawatdaruratan bekerjasama dengan ambulan kelompok masyarat, yayasan, ormas, partai politik, PMI dan instansi lainnya, serta layanan pemulasaran. Termasuk perlindungan pada tenaga kesehatan yan bertugas dan penghargaan bagi yang gugur. Jaminan kesehatan non pandemi berupa BPJS PBI yang diperluas kepemilikannya sampai MBR. Data dalam LKPJ Walikota Tahun anggaran 2019 menunjukkan, pemerintah kota berhasil merealisasikan 100% kepemilikan jaminan kesehatan bagi warga miskin sebanyak 799.540. kemudian layanan imunisasi bagi balita, posyandu, cek kesehatan untuk lansia, pemeriksaan gizi anak dan ibu hamil juga harus semakin ditingkatkan.

Setelah itu baru kita bicara program pembangunan infrastruktur diantaranya sistem energi, sumber daya alam dan lingkungan, sistem transportasi umum di Surabaya dan mengelola transportasi yang sudah ada sebagai feeder seperti angkot, bus kota, ojek online, bus suroboyo, kereta komuter. Serta perbaikan sistem komunikasi dan informasi untuk mendukung Surabaya sebagai smart city.

Terakhir, program penguatan kesejahteraan di bidang hiburan dan pariwisata dengan membentuk sektor wisata baru di Surabaya, menguatkan kampung-kampung sebagai laboratorium sosial yang mendorong sektor wisata dan wisata sejarah perlu dihidupkan. Sektor pariwisata dan hiburan perlu didukung oleh seni dan budaya serta olahraga prestasi. Pemkot dapat mewadahi potensi kota berupa komunitas dan kelompok masyarakat yang mendukung terbentuknya kawasan seni teater, seni tradisional, kawasan keagamaan, kawasan politik dan kawasan ekonomi serta kawasan olahraga. Gandeng komunitas dan kelompok masyarakat yang sudah lama bergerak di bidang tersebut dan berikan stimulus anggaran. Pada sektor olahraga prestasi, Dinas Pemuda dan Olahraga dapat melakukan ajang pencarian bakat hingga level kampung untuk memenuhi stok atlet berprestasi dari Surabaya. Kemudian memberikan beasiswa dan mengikutsertakan pada event-event nasional hingga internasional.

Program tersebut tentu tidak akan berjalan tanpa kepimpinan yang tepat. Tanpa pemimpin yang mampu menahkodai disituasi pelik, ketidakpastian dan krisis. Walikota Surabaya di era dan pasca pandemi harus tahu prioritas. Gerak cepat dan tepat. Efektif dan efisien. Utamakan yang penting dan genting. di tengah kegawatdaruratan, kita butuh pemimpin yang bergerak cepat menyelesaikan masalah. Mengerti manajemen di saat darurat. Kemudian, pemimpin haruslah think globally, act locally. Karena covid adalah krisis global, maka perlu terbuka terhadap kondisi dan informasi dari seluruh dunia dan menerapkan yang paling sesuai dengan kondisi Surabaya. Mau dan mampu belajar dari daerah lain dan orang lain. Selanjutnya kolaborasi menjadi kunci. Kompetisi tidak lagi relevan. Rakyat tidak ingin lagi dipertontonkan rivalitas. Mereka ingin kolaborasi, solusi dan aksi dari para pemimpinnya. Jadi seluruh pihak harus terlibat dalam kolaborasi. Dalam terjangan badai krisis, setiap pihak dalam kapal harus saling bahu membahu agar kapal dan seisinya selamat.

Untuk menghasilkan pemimpin yang mampu menahkodai di tengah krisis, maka pilwali harus menjadi kontestasi yang bermutu. Pertama, isu yang diangkat mesti subtantif dan solutif bagi permasalahan warga. Jangan memperkeruh kondisi krisis dengan isu SARA, primordial, sektarian dan pembunuhan karakter (character assasination). Kedua, pemilu harus jujur dan adil. Lembaga penyelenggara, pengawas, pemantau harus benar-benar memenuhi seluruh ketentuan perundang-undangan. Independen dan imparsial serta harus mampu mengantisipasi berbagai kerawanan dalam proses pilwali. Ketiga, pemilih diberikan kesempatan mengenali kandidat dalam waktu yang memadai dan memilih dengan leluasa. Tanpa halangan. Tanpa teror dan intimidasi. Media masa diharapkan dapat berperan dalam sosialisasi seluruh kandidat.

Sebagai penutup, bicara Surabaya tidak hanya berbicara pasca Risma. Kita harus menyadari sebagai sebuah bangunan, pembangunan Surabaya diletakkan atas banyak batu bata. Dan setiap pemimpin yang pernah menahkodai Surabaya ikut andil dalam peletakan batu bata. Saat ini, bicara Surabaya berarti bicara pandemi dan upaya penanganan pandemi dan pemulihan pasca pandemi. Maka nahkoda yang tepat adalah yang mampu menerjang situasi krisis dan mengantarkan seluruh penumpang kapal melompat lebih hebat. 


[1] https://faisalbasri.com/2020/07/23/memahami-resesi/ diakses pada tanggal 26 Juli 2020 pukul 12.48

[2] Pernyataan Menko Koordinator Bidang Perekonomian airlangga Hartanto dalam https://bisnis.tempo.co/read/1368600/perekonomian-indonesia-terancam-resesi-berikut-5-faktanya/full&view=ok

[3] Data Dispendukcapil 2019 dikutip dari LKPJ Walikota Tahun Anggaran 2019

Pernah disampaikan pada :
Bincang Politik Pilkada Surabaya 2020 yang diselenggarakan oleh Prodi Sosiologi FISIP UWKS dengan Tema Suroboyo Pasca Risma : Noto Suroboyo Ya Opo Enak’e?
Senin, 27 Juli 2020