SURABAYA – Jumlah anak usia Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat mencapai 525 ribu jiwa dari total keseluruhan penduduk Kota Surabaya sebesar 3 juta orang. Mereka wajib diperhatikan, menjadi target pengasuhan yang baik. Bukan saja oleh orangtua, namun sekolah serta lingkungan.

Baiknya generasi muda akan membawa implikasi positif pada kota dan bahkan negara. Semua pihak berkewajiban menjaga. Terlebih Surabaya bersamaan Hari Anak Nasional (HAN), 23 Juli 2017 di Pekanbaru, Riau, mendapat penghargaan Kota Layak Anak kategori utama dari Presiden Joko Widodo yang diberikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Yohana Yembise.

Ini disampaikan anggota Komisi D DPRD Surabaya, Reni Astuti, S.Si, saat menjadi salah satu pembicara Capacity Buillding dengan materi Parenting, yang diselenggarakan oleh dan di Dinas Pengendalian Penduduk, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP5A), Gedung A Siola lantai 2, Senin (26/2/2018).

 

20180226_111411

“Sekolah bisa mengadakan parenting bagi orangtua atau wali murid. Cuma tidak semua sekolah bisa melakukan ini, tergantung kemampuan masing-masing. Prinsipnya yang bisa ditangani sekolah ditangani dulu,” kata Reni Astuti pada peserta peningkatan kapasitas dari lintas organisasi wanita se Surabaya.

Program perlindungan anak menjadi bagian prioritas di Kota Surabaya karena bukan saja penghargaan Kota Layak Anak. Namun sempat muncul kasus penculikan siswi kelas 4 disalah satu SD yang diculik. Karena sekolah dan orangtua pernah memberikan imunitas, anak ini tenang. Sehingga ketika pelaku akan membeli bensin di salah satu Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Raci Pasuruan, korban melapor ke orang sekitar. Ketenangan korban tidak lepas dari peran orangtua serta sekolah. Belum lagi kasus pencabulan puluhan siswi oleh oknum guru.

“Yang benar membuat imunitas pada anak, tidak justru membuat anak steril atau melarang kemana-mana. Anak akan menghadapi zamannya, tidak bisa di rumah saja,” tutur wakil ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F PKS) DPRD Surabaya ini.

Anggota dewan dua periode ini menyampaikan pengalamannya mendampingi anak putus sekolah dari keluarga yang kepala rumah tangganya masuk tahanan karena kasus narkoba. Sang ibu sebagai orangtua tunggal sibuk jualan makanan sehingga anaknya yang pertama putus sekolah. Dua adiknya, nomor 2 dan 3 ikut-ikutan tidak mau sekolah. Bahkan yang nomor dua sama sekali tidak pernah sekolah, meski kelas 1 SD. Anaknya nomor 4 masih kecil.

“Anak yang nomor 3 itu putra, rambutnya udah disemir merah,” ungkapnya. Reni terus memberikan pendampingan agar anak tersebut mau meneruskan sekolah kembali.

Predikat Kota Layak Anak untuk Surabaya, menurut Reni, juga menemui tantangan di lapangan. Dia mencontohkan keberadaan orangtua dengan tingkat kesadaran rendah untuk mengurus akta kelahiran anak. Bahkan hingga anak berusia 2 tahun. Melalui kader PKS maupun relawan yang ada, Reni terus memberikan advokasi agar hak dasar anak berupa akte kelahiran bisa didapatkan.

“Posisi Surabaya sebagai kota layak anak harus terus dikuatkan. Harapannya, ke depan Surabaya bukan saja menjadi kota layak anak, namun juga semakin menguatkan kota layak anak. Sebagai kota metropolis Surabaya ramai, jangan sampai ada celah dimanfaatkan oknum yang merugikan anak,” pungkasnya.

Kepala DP5A, Nanis Chairani, menyebut penguatan kapasitas dengan materi parenting sudah ditunggu pihaknya. “Harapannya agar orangtua lebih paham lagi untuk mengasuh putra-putrinya. Di DP5A yang paling banyak menangani kasus anak. Ada yang minum, pil, keluyuran malam. Ini masalah besar yang harus segera ditangani. Banyak orangtua beralasan harus kerja, cari duit. Namun kalau anaknya terkena kasus narkoba percuma duit banyak,” papar mantan camat Krembangan ini.

Sementara itu, pada penguatan kapasitas bagi anggota organisasi wanita tersebut juga menghadirkan pihak Yayasan OrtuIndonesia, sebuah perusahaan start up yang mengedepankan pendidikan calon orangtua. “Lembaga kami bisa disebut sekolahnya calon orangtua atau mereka yang mau menikah. Selama ini kan tidak ada sekolah calon orangtua,” tutur Rininta Mahda, salah satu pendiri OrtuIndonesia.

Yang dinilai lulus kursus secara online tersebut berhak mendapatkan sertifikasi. OrtuIndonesia merupakan perusahaan start up asal Surabaya. (rel-1)