25 Februari 2020

Anak-anak Surabaya harus mengenyam pendidikan dengan baik yang didukung dengan lingkungan yang baik

Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya
Reni Astuti

Bahu kecil Defferico Audi bergetar dan perlahan air matanya tumpah dipelukan saya. Anak laki-laki yang masih bersekolah di SMP Negeri 36 Surabaya ini sehari-hari berjuang menghidupi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa ibu dan ayahnya.  Audi, demikian dia biasa dipanggil, merupakan anak bungsu dari dua bersaudara. Audi hanya tinggal berdua dengan kakaknya yang juga masih bersekolah di bangku SMK. Ayah dan ibunya telah lama berpisah dan tidak ada yang menemani mereka. Walau demikian, ayah Audi tidak serta merta meninggalkan Audi. Seminggu sekali ayahnya yang seorang kuli bangunan itu memberikan uang sebesar 100.000 untuk kebutuhannya sehari-hari. Walau jelas uang tersebut tak cukup untuk menghidupi dua orang putra. Kadang juga beliau tak datang. Informasi tentang Audi masuk ke saya dari anggota dewan pendidikan Surabaya.  Beliau menyampaikan bahwa ada anak Surabaya berusia SMP kondisinya tidak layak.

Pagi ini (25 Februari 2020), sebelum ke kantor dewan saya mendatangi SMP Negeri 36 Surabaya untuk meminta penjelasan lebih lanjut dari pihak sekolah sekaligus konfirmasi apakah ada siswa yang bernama Defferico Audi yang kondisinya sebagaimana yang telah disampaikan kepada saya. Beberapa guru menyampaikan bahwa benar anak tersebut siswa disana dan benar bahwa siswa tersebut mendapatkan perhatian dari sekolah. Audi memang hanya tinggal dengan kakaknya dan semua kebutuhan sehari harinya juga dipenuhi oleh Audi dan kakaknya sendiri. Tak seperti kebanyakan dari anak seusianya, Audi harus mencuci bajunya sendiri, menyiapkan kebutuhannya sendiri. Beberapa waktu yang lalu, Audi tidak bersekolah karena tidurnya terlalu malam dan paginya tidak ada yang membangunkan. Nyaris semua semua kebutuhannya dipenuhi sendiri, juga dibantu oleh kakaknya yang usia SMK. Kebutuhan makan ketika di sekolah dibantu oleh sekolah. sepulang sekolah jam 16.00, Audi makan seadanya. Kadang makan di rumah temannya dari belas kasihan wali murid lain. Kalau tidak ada makanan, Audi tidak makan. Bila perut sudah menjerit, Audi akan masak mi instan.

Setelah dari sekolah saya ingin mengetahui kondisi rumahnya. Rumahnya dekat dari sekolah di jalan kebonsari LVK. Kondisi rumah sangat tidak layak, mirip seperti bangunan semi permanen di bawah jembatan atau gubuk jualan rokok di pinggir jalan. Dindingnya ditambal seadanya, pada satu bagian berdinding tripleks bekas. Di sisi lainnya ditembel seng dan asbes. Atapnya disangga kayu seadanya yang sudah lapuk dimakan usia, sedang lantainya beralaskan tanah. Begitu memasuki dalam rumah, kesan pertama saya adalah kondisi rumah sangat berantakan. Karena memang rumah ini hanya dihuni oleh anak usia SMP dan usia SMK. Kedua-duanya semuanya laki-laki. Segunung sampah plastik, ember, tali, kandang bahkan sepeda bekas tergolek di sudut ruangan. Baju kotor juga bertumpuk. Di bagian paling dalam rumah, saya menemukan dapur yang tidak terurus, bungkus indomie berserakan dimana-mana.

Saya membayangkan bagaimana anak sekecil dipaksa harus bertahan hidup. Saya tiba-tiba teringat anak saya dirumah dan anak-anak lainnya yang seharusnya menjadi masa-masa bermain dan belajar. Masa mendapatkan kasih sayang dari orang tua, disenangi guru dan bermain dengan teman-temannya. Audi dan kakaknya tidak merasakan masa-masa itu. Bahkan ketika saya tanya, “kalau belajar bagaimana? Lampunya yang nyala yang mana?” Audi menunjuk salah satu bola lampu. Ternyata hanya ada satu lampu yang menyala.  

Mengingat Kondisi Audi dan kakaknya sangat tidak layak dan harus segera ditindaklanjuti. Anak-anak Surabaya harus mengenyam pendidikan dengan baik yang didukung dengan lingkungan yang baik. Saya mengapresiasi untuk sekolah dan guru yang sudah mengupayakan untuk membantu Audi. Bahkan sekolah sudah pernah menawarkan Audi dan kakaknya untuk tinggal di panti agar ada yang mengurus, tetapi Audi menolak. Saya kira ini butuh pendekatan ke kakaknya dan kepada bapaknya. Jika sekiranya bapaknya dapat dihubungi. 

Yang kedua, karena kebutuhan makan di luar sekolah tidak terpenuhi. Saya kira ini perlu diperhatikan oleh DP5A dan Dinas Sosial. Sehingga Audi dan kakaknya dapat diintervensi dengan kebijakan permakanan agar kebutuhan gizinya terpenuhi. Kondisi Audi sudah termasuk kondisi anak terlantar. Di usia yang masih sangat belia, ia harus mengurusi kebutuhan hidupnya sendiri. Usia anak-anak tetapi harus memikirkan apa yang harus dia makan. Besok baju yang dia pakai dan harus dicuci sendiri. Kemudian terkait dengan tempat tinggal, saya kira harus mendapatkan perhatian agar Audi dan kakaknya dapat tinggal ditempat yang layak. Tempat tinggalnya statusnya menyewa tanah dan dibangun bangunan seadanya. Dan tidak bisa ditempati seterusnya. Sehingga solusi tempat tinggal harus mendapat perhatian dari pemerintah kota. Misalkan dengan menempatkan Audi di rusun sekitar dan jika memungkinkan atau dengan dana-dana sosial.

Kisah Audi membuktikan ketidakmampuan Negara dalam hal ini pemerintah kota Surabaya untuk mewujudkan Kota ramah anak yang memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Oleh karena itu, saya mendorong agar Pemerintah kota melalui DP5A, Dinas Sosial dan Kelurahan Kecamatan untuk melakukan penyisiran anak-anak yang tidak mampu dan kondisinya tidak mendukung untuk proses belajar mengajar. Dinas Pendidikan dan Sekolah juga dapat melakukan pendataan berkaitan dengan kondisi anak didiknya sehingga Surabaya terbebas dari problem anak terlantar. Tidak boleh ada satupun anak Surabaya yang tidak dpat bersekolah dan menikmati penghidupan yang layak.