*) Reni Astuti, S.Si

 

SURABAYA memiliki 460 Sekolah Dasar (SD), 62 Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN). Untuk SMP swasta tercatat 265 sekolahan, yang 127 di antaranya kekurangan murid seiring Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Penurunan perolehan peserta didik baru secara signifikan lantaran dugaan Dinas Pendidikan (Dispendik) menambah pagu murid, sekolah negeri baru, dan meningkatkan jumlah rombongan belajar (Rombel) dalam tiap lokal kelasnya. Ini merugikan sekolah swasta berikut tenaga pengajarnya.

Ada sekolah yang semula bisa menerima empat lokal kelas kini dituntut bisa menerima kenyataan dengan dua lokal kelas. Bahkan untuk rombel pun dipadatkan. Kehilangan jam mengajar yang memunculkan ancaman pengurangan guru menjadi konsekuensi.

Dispendik menawarkan solusi apabila ada guru kekurangan jam mengajar akan diperbantukan sebagai tenaga outsourcing di sekolah negeri. Bukan itu saja, ketika ada guru sekolah swasta yang kekurangan jam mengajar mendadak resign (keluar) karena lebih memilih sebagai tenaga outsourcing. Lagi-lagi sekolah dirugikan, sekolah tak dapat murid, ditambah kehilangan guru. Ini terjadi di SMP 17 Agustus 1945 Surabaya.

Nasib yang sama dialami SMP Tri Tunggal 5. Kepala sekolahnya, Faqih, menyebut PPDB tahun ajaran 2018-2019 ini merupakan masa paceklik. Tahun sebelumnya SMP tersebut bisa menerima hingga 88 murid, kini 44 murid. Faqih mempertanyakan besarnya lulusan SD tahun 2018 sekitar 44.00 dan penambahan 1 SMPN, namun banyak SMP swasta kekurangan murid baru.

Kalkulasi yang dilakukan SMP swasta memunculkan pertanyaan; Apakah lulusan SD memilih masuk pondok, tidak sekolah atau kemana?. Ketika pihak SMP swasta selalu mengabulkan keinginan Dispendik yang meminta data jumlah murid yang diterima dan lulus, ini tidak linier dengan sekolah negeri yang belum terbuka.

Kekurangan murid di SMP 17 Agustus 1945 tidak separah di SMP PGRI 6 kondisinya. Kalau bicara indikator keberhasilan pendidikan dalam dokumen di pemerintah kota (Pemkot) dikatakan bahwa indikator keberhasilan dibidang pendidikan ada dua hal.

Pertama, terkait aksesibilitas pendidikan. Kedua, terkait kualitas pendidikan. Jadi yang dikejar bagaimana anak usia sekolah di Kota Surabaya bisa sekolah. Yang tidak mampu (finansial) harus terbantu, terlindungi agar jangan sampai anak yang mau sekolah tidak sekolah karena masalah biaya. Ini menganggu stabilitas pendidikan.

Untuk kualitas pendidikan, bagaimana proses pendidikan menghasilkan output dari pendidikan itu sendiri; menjadi anak yang berkarakter, memiliki keilmuan, kecakapan, kemandirian dan sebagainya.

Nah, kemudian dibuatlah peraturan terkait penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan tingkat SD dan SMP menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Oleh karena itu ada tahapan-tahapan yang harus diikuti, salah satunya PPDB.

Dalam PPDB secara aturan sudah punya, yaitu Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 47 Tahun 2013. Di dalamnya jelas diatur tentang PPDB yang mengedepankan empat prinsip/azas; Obyektif, transparan, akuntabel dan tidak diskriminatif. Aturan di atas dikuatkan Permendikbud.

Persoalan saat ini karena Permendikbud tidak dipatuhi, tidak dijalankan. Misalkan terkait tentang ketentuan rombel dan jumlah siswa di tiap rombel. Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 terkait standart proses, di dalamnya diatur dengan ketentuan terkait kurikulum, pembelajaran dan sebagainya. Rombongan belajar seperti apa, dalam perwali semua juga diatur.

Bahkan dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 bicara tentang ketentuan PPDB itu diatur tentang pengumuman siapa yang diterima oleh satuan pendidikan harus ditempel di papan pengumuman. Sementara pengumuman penerimaan jalur mitra warga di SMPN di Kota Surabaya itu tidak ditempel. Azas transparasi tidak terlihat. Perwali tidak dijalankan.

Karena payung hukum berupa perwali tidak dijalankan, memunculkan ini kebijakan yang emosional, diambil di tengah jalan. Karena ketika pengumuman jalur mitra warga, saya telepon kepada kepala sekolah negeri baru tahu kalau ada kebijakan mitra warga tidak 5 persen dan ini berjalan di tengah perjalanan PPDB.

Semua terjadi karena tidak dikaji menyeluruh (termasuk masyarakat, swasta) dan melibatkan semua sehingga akibatnya seperti ini. Apabila jalur mitra warga untuk membantu siswa tidak mampu sebagai amanah konstitusi, wajib. Perwali mengatakan 5 persen. Kalau pemerintah kota menaikkan mitra warga lebih 5 persen, tidak apa-apa tapi harus dikaji secara mendalam. Libatkan sekolah swasta, perwali yang ada diubah supaya semua taat azas, taat aturan. Kalau aturan yang ada dijalankan, termasuk perwali yang ditandatangani wali kota mestinya Dispendik menjalankan aturan-aturan yang sudah dibuat oleh wali kota.

Sebagai sebuah tanggung jawab Pemkot, dalam hal ini Dispendik tentu harus memberikan solusi yang menuntaskan. Tidak kemudian membuat sekolah-sekolah swasta ini menjadi semakin terpuruk. Biar bagaimana pun keberadaan pemerintah kota, keberadaan Dispendik melakukan pembinaan dan menjaga kualitas pendidikan.

Sekolah swasta dan negeri, yang sekolah di situ adalah anak-anak Surabaya. Guru-guru yang ada di situ juga warga Surabaya. Oleh karena itu harus mendapatkan perhatian yang sama dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan yang ada di Kota Surabaya.

Terkait pembiayaan harus ada formula agar kemudian sekolah swasta ini keberadaannya tetap berlangsung. Kalau kemudian kedepan keberadaan sekolah swasta ini mengalami penurunan bukan karena “diamputasi”.

Penurunan karena tidak bisa menyelenggarakan pendidikan secara baik, akreditasinya menurun dan tidak lagi diminati masyarakat. Tapi bukan karena sekolah swasta itu mati karena kebijakan yang tidak dilakukan secara cermat dan kajian mendalam.

Masalah bukan saja terjadi di sekolah swasta yang kekurangan murid. Sekolah negeri yang jumlah muridnya melebihi pagu, melebihi ketentuan, misalkan dalam satu lokal kelas semula 32 siswa kemudian menjadi 40 bahkan 41 maka yang dikhawatirkan ada kerentanan kualitas pendidikan.

Contoh di SMPN 30 di kawasan Kecamatan Sukolilo yang semula punya aula yang akhirnya disekat sebagai kelas. Ini buah ketidaksiapan. Sarana prasarana tidak disiapkan. Aula jadi kelas. Padahal aula punya fungsi lain, untuk pembelajaran yang lain.

Di SMPN 29 ada tambahan empat rombongan belajar. Yang dulunya mitra warganya 20an atau belasan sekarang jumlahnya mencapai 250. Semua masuk dalam empat rombel. Sehingga kemudian yang semua semula masuk pagi menjadi masuk siang. Seharusnya dalam konteks pendidikan, yang siang seharusnya masuk pagi semua. Bukan yang pagi semua kemudian ada kelas siang.

Wali murid banyak mengelus karena kelas yang berjubel sehingga kualitas belajar-mengajar dipertanyakan.

Ketika ada kebijakan yang menggelisahkan alangkah bijaknya pemerintah kota melakukan konferensi pers terkait kebijakan publik yang diambil. Kami sangat menyayangkan sampai saat ini belum ada pernyataan sikap, bentuk penjelasan tentang kebijakan yang diambil, solusi apa yang akan ditempuh dan sebagainya.

Sebagai anggota dewan kami akan terus menanyakan setiap ada kesempatan bertemu dengan wali kota atau dalam forum di dewan. Kita berharap ini dibawa dalam rapat di Komisi D. Sudah kami usulkan namun belum dijawab, semoga dalam waktu dekat dijadwalkan.

Kalau tidak dijadwalkan, akan kami tanyakan secara terus menerus karena ini sebagai bentuk tanggung jawab Dispendik terhadap kebijakan yang diambil. Kami berharap kebijakan ini tidak diulang lagi dan mengevaluasi menyeluruh.

Kalau hasil evaluasi menyebutkan keliru maka Dispendik harus mengakui secara terbuka dan melakukan perbaikan. Terkait jangka pendek, tahun ini harus ada solusi, formula yang melibatkan sekolah swasta.

Jadi jangan ada solusi yang top-down. Tapi libatkan sekolah swasta. Kemudian solusi yang tidak sekadar seperti solusi namun sebenarnya tidak menyelesaikan, tidak menuntaskan. Harapannya tidak ada ancaman, intimidasi pada sekolah swasta, guru swasta yang sedang berjuang dengan izin operasionalnya akan diganggu, proses administrasi akan dihambat dan sebagainya. Kami berharap tidak terjadi seperti itu. (*)

 

*) Anggota Komisi D/Wakil Ketua F PKS DPRD Surabaya