SURABAYA, publiknasional.com

Kawasan hutan mangrove sebagai kawasan konservasi di pantai timur Surabaya (Pamurbaya) digerogoti pengembang dan masyarakat sekitarnya. Upaya penggerogotan ini ditengarai sudah berlangsung sejak lama, karena sebagain besar kawasan mangrove sudah disulap jadi perumahan, hotel dan apartemen.

Wawan Some, anggota Tim Konsorsium Rumah Mangrove Pamurbaya, menengarai saat ini kawasan mangrove Pamurbaya sekitar 70% telah dikuasai investor atau pengembang.

“Kawasan konservasi tersebut sudah sejak 1990-an menjadi incaran investor, sehingga tidak heran jika saat ini lahan di kawasan itu berubah menjadi area berbagai bangunan. Mulai bangunan perumahan, perkantoran, apartemen dan hotel,” kata Wawan saat dikonfirmasi Jumat (27/5/2011).

Menurut hasil temuan Konsorsium Rumah Mangrove Pamurbaya, lahan mangrove awalnya dikuasia masyarakat, tapi kini sudah beralih ke tangan investor. Sejumlah investor yang menguasai lahan Pamurbaya, di antaranya PT Dharmaland, PT SAC Nusantara dan PT Pakuwon. Manurut informasinya, PT Dharmaland dan PT Pakuwon menguasai 314 hektar, sementara PT SAC memiliki lahan 28 hektar.

“Awalnya, ada 10 investor yang masuk untuk menjadikan kawasan Pamurbaya menjadi hunian dan hotel. Namun, yang masih bertahan hanya tiga investor dan kini terus melakukan pembangunan di kawasan itu,” ujar Wawan.

Selain itu, ia juga menambahkan berdasarkan master plan Kota Surabaya tahun 2000, kawasan Keputih di Kecamatan Sukolilo merupakan kawasan konservasi. Namun, sekarang kawasan tersebut telah berubah menjadi perumahan.

Wawan Some meminta Pemkot Surabaya segera membatalkan dan tidak memberikan izin apa pun terhadap para pengembang yang membuat perumahan di kawasan konservasi Pamurbaya. “Pemkot harus tegas untuk menyelamatkan kawasan konservasi,” tegas Wawan.

Jika pemkot tetap tidak bisa menjaga kawasan Pamurbaya, lanjutnya, pihaknya siap mengajukan gugatan karena pemkot dianggap lalai menjaga kawasan konservasi. “Kami siap melakukan gugatan terhadap Pemkot Surabaya terkait pengerukan lingkungan hidup,” ungkapnya.

Reni Astuti anggota komisi C DPRD Surabaya yang awal minggu ini melihat lokasi mangrove mengakui lahan konservasi hutan mangrove makin kritis.

Sementara, kata dia, dari area tambak yang diklaim milik pembalak sampai ke daratan atau ke perkampungan warga jaraknya 3 km. Jarak daratan dengan tambak tersebut dibatasi hutan mangrove. “Lha, kalau lahan di hutan mangrove itu sudah dikuasai pengembang, ya, habislah kawsan konservasi Pamurbaya,” ungkapnya.

Politisi asal Partai Kadilan Sejahtera (PKS) ini menambahkan, yang lebih ironis Pemkot tidak memiliki batas lahan koservasi yang jelas. Mana batas daratannya, mana batas pantainya dan mana batas hutan mangrovenya tidak jelas. Kondisi ini menjadikan pengawasan di lapangan tidak bisa berjalan dengan baik.

Bila pihak kelurahan dan kecamatan diminta untuk mengawasi Pamurbaya, lanjutnya, dua lembaga itu diyakininya juga akan kesulitan mengawasinya. Sebab, batas daratn, bata hutan mangrove dan batas pantai pamurbaya tidak pasti.

“Selama ini kelurahan dan kecamatan hanya berpedoman pada peta Surabaya, sementara peta itu tidak bisa dijadikan pedoman bagi pengawas di lapangan untuk mengawasi pamurbaya. Apalagi, kalau penguasaan kawasan itu sudah dilakukan sejak 1990-an dan dilakukan orang berduit, maka sulitlah bagi lurah atau camat mencegah penggerogotan kawasan mangrove itu,” jelasnya.

Sementara itu Wakil Walikota Surabaya Bambang Dwi Hartono ketika dikonfirmasi terpisah mengatakan, perusahaan yang memiliki izin reklamasi di pamurbaya dari pusat hanya ada satu, yakni PT Granting Jaya.

“Setahu saya tidak ada perusahaan lain yang memiliki izin reklamasi atau pemanfaatan lahan mangrove selain perusahaan milik Pak Setiyadi Yudo itu. Sedangkan, perusahaan lainnya, saya kira tidak,” ujarnya.

Disinggung tentang penguasaan pengembang atas lahan mangrove dia mengatakan, kalau penguasaannya sebelum 2002, ketika dirinya belum kirim surat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) tentang larangan penerbitan sertifikat di atas mangrove dia tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, saat itu penguasaan lahan mangrove belum diatur dan kawasan Pamurbaya belum dinyatakan sebagai kawasan konservasi.

Tapi, kalau penguasaannya setelah 2002, apalagi setelah terbitnya Perda Rencana Tara Ruang Wilayah (RTRW) no 3/2007 tentang tata ruang wilayah, maka pengembangnya bisa dipersalahkan secara undang-undang atau perda RTRW tersebut.

Ungkapan yang sama disampaikan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Hendro Gunawan. Dia mengatakan, saat ini kawasan Pamurbaya sudah dijadikan kawasan konservasi. Bila, penguasaan lahan oleh pengembang sebagaian besar dilakukan di era 1990-an Pemkot sulit meminta kembali kawasan itu. Tapi, kalau penguasaannya setelah 2002 Pemkot akan mengambil kembali lahan tersebut. “Dengan berbagai upaya kami akan mengambil kembali lahan konservasi yang telah dikuasai pengembang atau masyarakat,” terangnya.

Sementara itu, salah satu pengembang di kawasan Pamurbaya, PT Pakuwon membenarkan pihaknya sedang mengembangakan perumahan di kawasan tersebut. Tapi dia membantah lahannya masuk wilayah konservasi.

”Kita tahu kalau kawasan konservasi tidak boleh dibangun perumahan. Namun Pakuwon dalam pembangunannya jauh dari kawasan konservasi, kita sudah ada izinnya, kita sudah kelola sesuai RTRW dan lokasinya pun masih di belakang kawasan tambak, dan itupun jaraknya masih jauh dari kawasan konservasi. Pakuwon memang bangun di kawasan Pamurbaya tetapi tidak sampai di kawasan konsetrvasi pantai,” tegasnya.

”Pakuwon juga dalam pembangunannya, juga mengedepankan sistem drainase yang sesuai prosedur dan justru nantinya akan mempermudahkan aliran air keluar masuk, sehingga tidak menyebabkan suatu daerah khususnya di kawasan tersebut banjir,” pungkasnya.

Berbahaya
Pakar hukum lingkungan dari Universitas Airlangga (Unair), Suparto Wijoyo, mengatakan penguasaan lahan konservasi sangat merugikan dan berbahaya. Bahkan bisa masuk kualifikasi kejahatan konservasi dan pelanggaran tata ruang Surabaya. Tujuan pengusaan lahan mangrove untuk reklamasi dipastikan akan berdampak luas bagi masyarakat sekitar. Terlebih lagi, tujuan reklamasi lebih ke arah komersil.

Suparto mengatakan dampak langsung terhadap penguasaan lahan dan akan dilakukannya reklamasi adalah hilangnya mata pencaharian nelayan tradisional dari sumber kehidupan. Kawasan komersial yang akan dibangun, dipastikan membuat kawasan tersebut bebas dari kapal ikan milik nelayan.

“Kalau tujuan pengusaan lahan untuk reklamasi secara komersil, itu pasti akan merugikan masyarakat disekitar kawasan itu. Bagaimana kemudian nasib mereka ini ?,” ungkap Suparto, Jumat (27/5/2011).

Ia melanjutkan, ada pula dampak lingkungan yang terjadi jika lahan konservasi mangrove itu akan direklamasi. Kehancuran ekosistem berupa hilangnya aneka ragam hayati seperti spesies ikan, udang, kepiting, kerang bahkan burung akan hilang dari kawasan tersebut. Kehilangan itu dipastikan akan mematikan penghasilan para nelayan yang selama ini menggantungkan hidup dari kawasan pesisir laut.

Dampak lain, kata dia, adalah peningkatan potensi banjir. Ini dikarenakan reklamasi akan mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan konservasi. Selama ini kawasan mangrove bisa disebut ‘benteng’ bagi Surabaya terhadap pasang surut air laut. Sekaligus tempat hunian bagi satwa dan spesies laut. Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai dan merusak kawasan tata air.

“Akibatnya, potensi banjir akibat reklamasi sangatlah tinggi, belum lagi kerugian akibat hilangnya tempat konservasi spesies laut yang menjadi pekerjaan nelayan pesisir,” katanya.

Pemkot Surabaya dan pihak kepolisian, lanjutnya, perlu melakukan penyidikan secara komprehensif atas perubahan kepemilikan lahan itu. Perubahan harus sesuai regulasi jika tidak ingin dikategorikan masuk pelanggaran hukum. Merusak mangrove sama dengan menggangu ekosistem dan dapat dijerat dengan UU Konservasi.

Pemkot Surabaya bisa menghentikan kegiatan reklamasi. Bahkan masyarakat yang dirugikan bisa mengajukan gugatan perwakilan (class action). Hal itu dibenarkan, sesuai dengan Pasal 68 UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Terpencil. “Hanya saja gugatan itu juga harus sesuai dengan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ungkapnya.

Gugatan dalam class action masuk dalam kelompok hukum perdata. Istilah gugatan dikenal dalam hukum acara perdata sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk menghindari adanya upaya main hakim sendiri (eigenechting). **