Rini, warga Krukah, sempat kebingungan ketika dirinya mendapat laporan bahwa Diki, anaknya, tidak diperbolehkan ikut ulangan di sekolah beberapa waktu lalu. Problemnya, Diki belum membayar uang gedung sekolah.

Rini mengungkapkan, selama pandemi, pendapatan suaminya turun drastis sebagai pekerja serabutan. Hal itu berdampak terhadap biaya pendidikan untuk anaknya di sebuah SMK. ”Diki sekolah di sekolah swasta di kawasan Nginden,” ujarnya.

Ibu dua anak itu lantas menemui guru putranya tersebut di sekolah untuk meminta keringanan biaya. Sekolah memang memberikan keringanan, tapi nomor ujian Diki tidak diberikan. ”Mau tidak mau, uang gedung sekolah harus dicicil. Sebelumnya, saya sudah bayar SPP Diki sekitar Rp 400 ribu,” tambahnya.

Di sisi lain, Rini tidak masuk dalam daftar masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Selama ini, dia mengaku tak pernah didata oleh petugas RT atau RW setempat di kawasan Krukah Timur, Kecamatan Gubeng.

Terpisah, Wakil Ketua DPRD Reni Astuti menegaskan, program bantuan beasiswa bagi siswa SMA/SMK bukan untuk pembiayaan uang gedung. Bantuan itu hanya untuk pembayaran SPP serta pembelian seragam, tas, hingga sepatu baru.

Reni berharap, ke depan ada intervensi dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Menurut politikus dari Fraksi PKS itu, dewan dan pemerintah kota tidak mungkin membiarkan anak-anak SMA/SMK putus sekolah hanya karena tak bisa membeli seragam atau belum membayar SPP. ”Kalau urusan lain, ya mungkin bisa ada kolaborasi dari pemerintah provinsi,” ucapnya.

Dia menyatakan, FPKS searah dengan komitmen dan semangat wali kota Surabaya untuk hadir mengatasi kesulitan warga.

Perhatian ditujukan untuk memberikan kesejahteraan demi meningkatkan taraf hidup warga Kota Surabaya. Terutama yang menyentuh bidang pendidikan. ”FPKS menemukan banyak laporan pengaduan dari kalangan MBR yang memiliki anak usia SMA/SMK. Mereka kesulitan membayar biaya SPP atau kebutuhan pendidikan lainnya. Kasihan anak dan ortunya,” lanjut Reni.

Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur Isa Anshori menilai, 23 anak putus sekolah di Surabaya berasal dari beragam level. Mulai SD, SMP, hingga SMA/SMK. Faktornya pun bervariasi. Tak hanya tidak bisa membeli seragam, tapi ada juga siswa yang tidak bisa membayar SPP.

Isa mengusulkan, pemkot bersama pemprov membuat standardisasi biaya pendidikan yang berkualitas dan bermutu. Bisa dimulai dari sekolah negeri. Misalnya, biaya di sekolah A Rp 400 ribu. Dengan demikian, bisa diketahui berapa patokan pendidikan yang berkualitas itu dan apa yang harus dilakukan pemkot serta pemprov.

”Beda dengan sekolah swasta yang ada di garis ekonomi ke atas. Itu jangan dibicarakan lagi. Mereka sudah punya pasar lain,” ujarnya.

– Uang gedung sekolah

– Seragam sekolah

– Tas

– Sepatu

– Uang praktik (untuk siswa SMK)

– Alat tulis sekolah seperti buku hingga pensil

– Kegiatan ekstrakurikuler untuk menunjang aktivitas positif anak-anak di sekolah

 

Sumber:

Semua Halaman – Perlu Ada Standar Biaya Pendidikan (jawapos.com)