Puluhan siswa gagal mengikuti Ujian Tulis Berbasis komputer (UTBK) gelombang 2 yang digelar pada tanggal 20-15 Juli 2020 di Surabaya karena dinyatakan reaktif covid-19 dari hasil tes rapid. Data dari Unair sebanyak 34 peserta dinyatakan reaktif dari hasil rapid test onsite yang disediakan kampus. Sedang ITS mengumumkan 26 peserta gugur dengan alasan yang sama.
Berbeda dengan peserta yang pada gelombang 1 dinyatakan reaktif, mereka masih memiliki kesempatan untuk menjadwalkan ulang hingga tanggal 30 Juli 2020 dengan syarat dapat menunjukkan hasil swab negatif. Sedangkan, peserta pada gelombang dua jika dinyatakan reaktif dan hingga tanggal 30 Juli 2020 tidak dapat menunjukkan hasil swab negatif mak otomatis gugur sebagai peserta UTBK.
Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, Reni Astuti mendorong agar Pemerintah Kota Surabaya dalam hal ini Walikota selaku pihak yang menerbitkan aturan untuk menjadikan hasil rapid dan swab sebagai syarat mengikuti UTBK harus memberikan solusi pada anak-anak yang gagal UTBK terkendala hasil rapid test negatif atau swab test nya positif.
Reni memaparkan agar jangan sampai anak-anak ini kehilangan kesempatan untuk mengikuti UTBK tahun ini. “Persiapan UTBK tidak hanya setahun ini saja, bahkan kadang ada yang menyiapkan sejak awal masuk SMA.” Ucapnya. “Jangan sampai mimpi anak Surabaya pupus hanya karena hasil reaktif dari rapid test yang tentunya tidak mereka inginkan.”
Maka penting bagi pemerintah kota untuk menjamin hak anak untuk mengikuti UTBK. Pertama, peserta yang reaktif harus difasilitasi untuk mengikuti tes swab gratis. Untuk peserta yang berKTP Surabaya dibantu oleh Pemkot sedang yang diluar KTP Surabaya difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Jatim. Sebagaimana yang diketahui, apabila hasil rapid test reaktif belum tentu siswa tersebut terkonfirmasi positif covid-19. Tingkat validitas rapid test hanya sekitar 25%. Hanya karena reaktif siswa tidak bisa mengiuti UTBK. Fasilitasi test swab untuk yang hasil rapid nya negatif dengan hasil sebelum tanggal 30 Juli 2020.
Kedua, jika sampai tanggal 30, peserta yang reaktif ini belum mendapatkan hasil swab negatif, selama yang bersangkutan kondisinya tidak bergejala, harus ada alternatif solusi yang diberikan misalnya mengerjakan di ruang isolasi yang terpisah dari peserta ujian lainnya. Kecuali jika yang bersangkutan dalam kondisi dengan gejala covid yang parah contohnya tidak bisa bernafas, tidak bisa berfikir. Itu adalah persolan lain. Untuk yang masih bisa beraktivitas, masih mampu menjalankan tes, sebaiknya pemerintah kota mencari solusi bersama dengan kampus penyelenggaran dengan LTMPT.
Reni kembali menegaskan agar pemerintah kota mengeluarkan aturan tersebut untuk mengendalikan penyebaran pandemi tetapi harus memberikan solusi terkait dengan hak anak untuk mengikuti UTBK. Setelah tahapan SBMPTN ini berakhir, maka akan ada tahapan seleksi mandiri. Beberapa kampus menjadikan nilai UTBK sebagai kriteria seleksi mandiri. “Kan kasihan kalau anak-anak ini gagal meraih kampus yang dicita-citakan” tutupnya.
Berita Serupa dapat diakses di :
Komentar Terbaru