Komisi C DPRD Surabaya mengusulkan blacklist terhadap kontraktor nakal yang tidak menyelesikan proyek sesuai batas waktu ditentukan, dikenakan secara perseorangan. Pasalnya, selama ini blacklist terhadap rekanan atau perusahaan pelaksana proyek terbukti tidak efektif.
“Dibandingkan tahun sebelummya, tahun 2013 ternyata lebih banyak yang kena blacklist,” ujar Reni Astuti, anggota Komisi C DPRD Surabaya, Kamis (02/01/2014).
Data Pemerintah Kota Surabaya menyebutkan jumlah rekanan yang diblacklist pada tahun 2012 sebanyak 17 perusahaan pelaksana proyek, sedangkan tahun 2013 sebanyak 42 rekanan. Dengan rincian, 27 rekanan Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pematusan dan 15 rekanan Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (DCKTR).
Rekanan yang selama ini terkena black list dilarang mengikuti tender di lingkungan pemerintah kota selama 2 tahun. Masih banyaknya rekanan nakal, menurut anggota Fraksi PKS, Reni Astuti, karena dalam perpres yang mengatur sanksi masih memiliki celah hukum, yakni perusahaan pelaksana proyek bisa berganti nama.
“Jika ada celah, kejadian (proyek molor) akan terus terulang.”
Padahal menurutnya, pemerintah kota baru saja menerima penghargaan untuk kategori penyediaan pelayanan elektronik, tapi ironisnya hingga saat ini masih banyak pekerjaan fisik yang tidak tuntas.
Reni mengakui, black list secara perseorangan belum ada acuan hukumnya. Namun demikian, pemerintah kota menurutnya bisa mengusulkan ke pemerintah pusat.
”Pemkot bisa mengajukan inisiatif ke pusat, apalagi selama ini Surabaya sering menjadi narasumber di tingkat nasional.”
Ia menambahkan, jika belum ada revisi aturan, pihaknya meminta pemerintah kota selektif dalam pemilihan rekanan. Caranya, dengan melihat kinerja rekanan.
“Tidak hanya administratif saja, tapi harus dilihat kesiapan rekanan. Terutama yang sering pindah-pindah perusahaan,” tegasnya.
Reni yakin, Unit Layanan Pengadaan yang mengurusi lelang proyek mengetahui secara personal pelaksana proyek.
“ULP pasti tahu lah siapa-siapa personal yang ada di CV (pelaksana proyek),“ katanya.
Seleksi ketat terhadap pelaksana proyek diperlukan untuk mengantisipasi semakin banyak proyek yang molor maupun mangkrak karena ditinggal kontraktornya.
Pasalnya, pada 2014 besaran anggaran paket fisik pemkot lebih dari Rp 3 triliun. Jumlah tersebut meningkat bila dibanding tahun 2013 yang hanya berkisar Rp 2 triliun. (Indriatno/DS)

sumber: KBRN Radio Republik Indonesia (RRI), 2-1-2014.